SEKILAS INFO
Selamat Datang di Website Amir Mahmud Center
Kamis, 22/5/2025

HIDUP BUKAN PIIHAN : Refleksi Filosofis tentang Kebebasan, Takdir, dan Keterbatasan Manusia.

 Amir Mahmud

Sering kali kita mendengar ungkapan yang tampaknya sederhana namun penuh makna, “hidup adalah pilihan.” Kalimat ini sering digunakan untuk mengingatkan kita akan pentingnya mengambil tanggung jawab atas hidup kita sendiri, terutama dalam menghadapi berbagai tantangan dan keputusan yang datang. Namun, apakah benar hidup itu adalah pilihan? Ataukah justru ini adalah sebuah pandangan yang lahir dari posisi yang sangat nyaman, yang tidak bisa melihat kenyataan bahwa banyak orang hidup dalam keterbatasan yang sangat besar, dan tidak diberi kebebasan untuk memilih?

Hidup sebagai Pemberian yang Tak Diminta

Kita mulai hidup tanpa pilihan apapun. Kita tidak memilih untuk dilahirkan, tidak memilih orang tua kita, tempat di mana kita dilahirkan, atau kondisi sosial dan ekonomi yang membentuk diri kita sejak awal. Bahkan agama yang kita anut, bahasa yang kita pelajari, dan budaya yang kita warisi—semua itu adalah sesuatu yang diberikan pada kita, tanpa ada pilihan yang bisa kita buat. Dalam pandangan filsafat, ini disebut sebagai realitas yang diberikan, atau realitas yang ada di luar kendali kita. Sartre, seorang filsuf eksistensialis, mengungkapkan bahwa meskipun kita memiliki kebebasan untuk memilih, kebebasan itu selalu terikat oleh kondisi awal kita—yang berarti kita tidak pernah benar-benar memulai dari posisi yang sepenuhnya bebas.

Maka, bagaimana mungkin kita bisa menyebut “hidup” sebagai pilihan, ketika yang pertama kali datang kepada kita adalah sesuatu yang tidak kita pilih? Lahir dalam situasi yang terbentuk oleh orang tua, budaya, dan masyarakat di sekitar kita, seringkali kita harus menjalani hidup berdasarkan apa yang ada, bukan apa yang kita pilih.

Kesadaran dan Keterbatasan dalam Membuat Pilihan

Di titik tertentu, seseorang baru mulai menyadari bahwa hidupnya bisa lebih dari sekadar mengikuti arus. Kesadaran ini muncul ketika kita mulai mengenali bahwa banyak dari apa yang kita jalani adalah hasil dari pengaruh luar yang kita terima tanpa sadar. Namun, bahkan pada titik kesadaran ini, kebebasan kita untuk membuat pilihan sangat terbatas oleh kondisi dan struktur yang ada.

Contoh paling nyata adalah orang-orang yang hidup dalam kemiskinan atau dalam masyarakat yang penuh tekanan sosial. Mereka tidak memiliki pilihan bebas antara banyak alternatif, karena pilihan yang tersedia sering kali hanya antara bertahan hidup atau menyerah. Ini adalah pandangan yang seringkali luput dari mereka yang hidup dalam kenyamanan, yang dengan mudah mengklaim bahwa hidup adalah pilihan, tanpa menyadari bahwa banyak orang tidak pernah diberi kebebasan untuk memilih dengan adil.

Dalam konteks ini, klaim “hidup adalah pilihan” bisa menjadi sebuah penghakiman yang tidak adil. Ini menyederhanakan kompleksitas hidup, dan malah mengabaikan kenyataan bahwa banyak orang harus berjuang untuk sekadar bertahan. Dalam pandangan Viktor Frankl, seorang psikiater dan penyintas kamp konsentrasi Nazi, makna hidup sering kali ditemukan dalam cara kita merespons penderitaan. Penderitaan bukanlah sesuatu yang bisa kita pilih, tetapi bagaimana kita meresponsnya—apakah kita menyerah atau kita terus mencari makna dalam hidup—adalah pilihan yang bisa kita buat. Namun, untuk bisa membuat pilihan ini, kita memerlukan kekuatan mental, dukungan sosial, dan kesempatan untuk berpikir dengan jernih—yang sayangnya tidak selalu dimiliki oleh semua orang.

Bias Psikologis dalam Pandangan “Hidup adalah Pilihan”

Salah satu masalah besar dengan pandangan bahwa “hidup adalah pilihan” adalah bias psikologis yang tersembunyi di baliknya. Orang yang hidup dalam keadaan baik, yang memiliki banyak akses dan kebebasan, cenderung melihat hidup mereka sebagai hasil dari pilihan-pilihan baik yang mereka buat. Namun, kenyataannya, kondisi baik mereka sering kali merupakan hasil dari faktor eksternal yang tidak mereka pilih—seperti warisan keluarga, pendidikan yang baik, atau bahkan keberuntungan sosial.

Bagi mereka yang berada dalam kondisi lebih buruk, “pilihan” yang tampaknya jelas bagi orang lain sering kali tidak tersedia. Dalam banyak kasus, mereka terjebak dalam kondisi yang sulit berubah, bahkan ketika mereka berusaha keras. Oleh karena itu, menyatakan bahwa hidup adalah pilihan bisa menjadi sebuah justifikasi bagi mereka yang berada dalam posisi nyaman, yang tidak dapat melihat atau memahami keterbatasan yang dihadapi oleh orang lain. Ini juga bisa menciptakan rasa bersalah bagi mereka yang hidup dalam kesulitan, seolah-olah penderitaan mereka adalah hasil dari keputusan buruk yang mereka buat, bukan hasil dari kondisi yang tidak mereka pilih.

Pilihan yang Otentik: Kebebasan dalam Keterbatasan

Namun, ini bukan berarti bahwa manusia tidak bisa memilih sama sekali. Justru, ketika seseorang mulai sadar bahwa hidupnya dibentuk oleh berbagai faktor eksternal yang tidak ia pilih, maka kemungkinan untuk membuat pilihan yang lebih sadar dan otentik akan muncul. Pada titik inilah kebebasan kita untuk memilih bisa terwujud, tetapi hanya jika kita memiliki ruang—kesempatan, kekuatan, dan waktu—untuk berpikir dengan jernih dan bertindak berdasarkan pemahaman itu.

Pilihan yang otentik tidak muncul dengan sendirinya. Ia lahir dari proses kesadaran dan perjuangan, dan seringkali membutuhkan dukungan eksternal. Ini bukan sesuatu yang bisa dipaksakan kepada siapa saja, terutama mereka yang hidup dalam keterbatasan.

Kesimpulan: Hidup Adalah Pemberian, Pilihan Adalah Tanggung Jawab

Pada akhirnya, hidup bukanlah pilihan. Hidup adalah pemberian yang tidak kita minta, dan kebanyakan dari kita memulai hidup dengan situasi yang tidak kita pilih. Pilihan hanya bisa muncul ketika kita mulai menyadari bahwa hidup kita dibentuk oleh banyak hal di luar kendali kita, dan ketika kita memiliki ruang untuk membuat pilihan tersebut. Bahkan itu pun tidak selalu tersedia untuk semua orang.

Maka, daripada mengklaim bahwa hidup adalah pilihan, kita seharusnya lebih bijaksana dalam mengakui kenyataan bahwa hidup adalah pemberian yang penuh ketidakpastian, dan pilihan yang kita buat adalah hasil dari kesadaran yang berkembang, serta keterbatasan dan kebebasan yang saling berinteraksi.

Hidup bukan pilihan, tetapi cara kita menyikapinya—bagaimana kita merespons segala yang diberikan kepada kita—adalah pilihan yang otentik, jika ada ruang dan kesempatan untuk itu. (Editor AMC )

Referensi :

  1. Al-Tawhid: Its Implications for Thought and Life” oleh Isma’il Raji al-Faruqi
  2. Filsafat Hidup: Memecahkan Rahasia Kehidupan Berdasarkan Tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah ,oleh Hamka
  3. Islamic Philosophy, Science, Culture, and Religion: An Illustrated History oleh Dimitri Gutas
  4. Falsafatuna (Our Philosophy) oleh Muhammad Baqir al-Sadr