SEKILAS INFO
Selamat Datang di Website Amir Mahmud Center
Kamis, 22/5/2025

Memaknai Kembali Gerakan Feminisme

Oleh: Rifqi Almuiz (Mahasiswa UMS)

Perempuan selalu menjadi polemik bagi kehidupan sosial sehari-hari. Seringkali laki-laki menyuarakan “kesetaraan gender” antara laki-laki dan perempuan. Namun, yang menjadi pertanyaan, apakah perempuan sadar, apakah perempuan merasa terbantu, oleh orang-orang yang menyuarakan feminisme dengan lantang? Pada kenyataannya, feminisme tidak hanya mempersoalkan hak-hak atas perempuan. Jauh dari itu, feminisme merupakan bagian dari konsep demokrasi liberal. Benturan antara feminisme yang diupayakan oleh barat, dan feminisme menurut beberapa pandangan cendekiawan muslim, tampak mewakili perbedaan kutub ideologi. Sehingga muncullah pandangan Barat (modernisme) Islam (konservaisme).

Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, menjadikan isu feminisme semakin gencar diperbincangkan. Tidak hanya di Indonesia, melainkan di seluruh dunia, para akademisi gencar berbicara soal feminisme. Islam dan feminisme merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan. ungkapan “Islam memerdekakan kaum Wanita, pria muslim menindas wanitanya.” Hal tersebut menjadi bukti bahwa terdapat oknum-oknum yang dapat memahami ajaran agama serta konsep feminis secara utuh. Berita soal feminisme sering menjadi berita utama dan dijadikan sebagai lensa krusial oleh kalangan muslim maupun non-muslim, dalam menilai serta mengamati Islam. Perspektif Barat terhadap perempuan menurut pandangan Islam dibentuk oleh citra berkerudung, masyarakat yang dipisahkan berdasarkan jenis kelamin, dan penolakan akan hak asasi manusia.

Dalam Islam, perbincangan feminisme seharusnya sudah selesai pada tahap akhir. serupa dijelaskan pada QS An-Nisa: 32 artinya “Janganlah kamu berangan-angan (iri hati) terhadap apa yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain.

Ayat di atas menjadi kebenaran yang mutlak, bahwa terdapat pemisahan antara perempuan dan laki-laki. Tembok pemisah tersebut bukan berarti mendiskreditkan perempuan atau laki-laki. Menurut perspektif Farhat Hashmi, seorang feminisme Taliban “tangggung jawa seorang perempuan adalah di rumah, setelah tanggung jawab tersebut terpenuhi, maka ia dapat bebas memasuki bidang keilmuan apapun yang disukainya. Berbeda dengan pandangan Amina Wadud, seorang sarjana ilmu Al-Qur’an dan kajian Islam serta seorang feminisme muslim liberal, ia mendobrak tradisi bahwa hanya laki-laki yang boleh memimpin Salat Jum’at, selama berabad-abad lamanya. Wadud menilai atas Islam dalam membantu atas feminisme untuk para penafsir Al-Qur’an yang menggunakan asumsi pribadi.

Yusuf Qardhawi, seorang ulama sekaligus otoritas agama terkemuka, mendukung reformasi terhadap hak-hak perempuan. Ia mengatakan, Al-Qur’an membebankan kewajiban yang sama pada kedua jenis kelamin untuk menjaga moralitas setiap individu. serupa dijelaskan dalam QS At-Taubah: 71 artinya “Orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) makruf dan mencegah (berbuat) mungkar, menegakkan salat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”

Jika disimpulkan, ayat di atas memberikan pesan bahwa tidak terdapat pemisah antara perempuan dan laki-laki, jalan mencapai tujuanlah yang membedakannya, namun pada akhirnya perempuan dan laki-laki akan menuju titik temu yang sama.

Feminisme dalam kancah Indonesia

Perbincangan mengenai feminisme di Indonesia dimulai sejak era pra kemerdekaan. RA Kartini dengan semangat emansipasinya, NH. Dini dengan semangat sastra feminisme, Pramoedya dengan tetralogi Pulau Buru, Ahmad Tohari dalam novel “Ronggeng Dukuh Paruk,” yang mengungkapkan mengungkapkan perempuan, dan masih banyak lagi. Pergulatan feminisme di Indonesia tidak hanya dipengaruhi oleh satu faktor saja, hal itu dapat dibenarkan karena pada masa pra kemerdekaan hingga akhir tahun 90-an agama tidak menjadi titik akhir atas permasalahan feminisme. Yang menjadi pertanyaan adalah, Apakah feminisme saat ini hanya digunakan sebagai sarana perempuan untuk mencapai titik puncak kekuasaan, ataukah feminisme saat ini masih berada dalam koridor dan garis perjuangan yang sama, yaitu melawan praktik patriarki yang menguasai ruang-ruang publik yang telah lama terjadi?

Feminisme di Indonesia pada awalnya hanya fokus pada isu kesetaraan gender, seiring berjalannya waktu Gerakan feminis bergerak di ruang-ruang seperti, Pendidikan, Politik, sosial. Pemerintah melalui UU NO 12 Tahun 2003, membahas tentang keterlibatan perempuan diparlemen, hal tersebut dipertegas pada Tahun 2008, UU Partai mewajibkan keterwakilan perempuan minimal 30 Persen. Jelas, Menjadi angin segar terhadap perempuan. Namun, kebutuhan saat ini adalah “memberdayakan mayoritas perempuan,” untuk melindungi hak dasar dan hak politik perempuan. Kekuasaan perempuan dalam lanskap Negara dan partisipasi politik dengan perwakilan bukan lagi cara yang relevan bagi perempuan untuk dapat andil dalam peran politik dan sosial. Oleh karena itu, perlu diubah paradigma tentang definisi partisipasi politik “perwakilan politik” menjadi “kehadiran politik” bagi perempuan.

Kerancuan feminisme liberal

Hampir semua orang berpandangan bahwa feminisme adalah Gerakan idenditas (perempuan). Jika seperti itu, maka apa bedanya dengan subordinasi perempuan dalam masyarakat kapitalis yang memiliki dasar struktural yang sama dengan eksploitasi kelas. Kontradiksi tersebut justru berpotensi mengeksploitasi perempuan secara berkelanjutan. Tidak semua perempuan memiliki keresahan yang sama, tidak semua perempuan merasakan kejadian yang sama. Feminisme yang hanya berbicara soal perempuan, pada akhirnya akan mengangkat persoalan perempuan yang memiliki hak istimewa. Jauh dari itu, feminisme juga harus dimaknai sebagai bentuk perjuangan kelas, bukan hanya perjuangan identitas.

Perempuan di pedesaan, perempuan di kota-kota kecil yang membutuhkan pekerjaan, perempuan di ruang akademik, perempuan di warung-warung kopi, dan sebagainya, seharusnya menjadi perhatian gerakan feminis. Oleh karena itu, peran perempuan tidak hanya berperan dalam panggung politik, perempuan juga harus berperan dalam panggung sosial masyarakat secara luas. Modernisasi zaman mengharuskan setiap gerakan untuk merefleksikan kembali apa yang telah dilakukan, dan kebutuhan yang akan datang, tidak terkecuali gerakan feminis. Semakin cepat zaman berubah, maka semakin cepat juga setiap gerakan untuk memastikan dirinya dapat relevan. Kenyataannya, pembahasan mengenai feminisme hingga saat ini belum juga terselesaikan, masih banyak yang memahami feminisme sebagai gerakan idenitas belaka.

Oleh karena itu, narasi “kesetaraaan” seharusnya tidak hanya dimaknai antara perempuan dan laki-laki. Ketidakadilan dan keadilan tidak hanya sebatas pengakuan. Lebih dapi pada itu, kesetaraan seharunnya membentangkan garis terang atas peran perempuan sesuai porsi dan kebutuhannya. Sehingga, gerakan feminisme tidak hanya menjadi pemahaman edukatif, melainkan menjadi gerakan yang konstruktif-empiris. Pada ahkhirnya, semua gagasan yang muncul oleh akademisi yang menggeluti dunia feminisme berangkat dari akar masalah yang sama, namun perbedaannya terdapat di jalan untuk memecahkan masalah tersebut, sehingga terjadi klasifikasi perspektif feminisme dengan menggunakan topeng yang berbeda-beda.

Redaktur : Akbar