Oleh. Amir Mahmud.
( Direktur Amir Mahmud Center & Dosen )
Pendahuluan: Gelar dan Gagasan yang Tak Lagi Bertaut
Dalam lanskap pendidikan tinggi kontemporer, gelar doktor dan jabatan profesor telah menjelma menjadi simbol prestise akademik yang amat dijunjung tinggi. Secara normatif, keduanya merepresentasikan puncak pencapaian intelektual: kematangan berpikir, keluasan wawasan, dan tanggung jawab keilmuan. Namun realitas di balik simbol ini justru memperlihatkan wajah lain yang lebih problematik. Proses meraih gelar dan jabatan tersebut kerap kali mengalami disorientasi nilai, ketika ilmu tidak lagi dipandang sebagai alat pembebasan dan pencerahan sosial, melainkan sebatas komoditas administratif yang diperjualbelikan dalam sistem yang kaku dan teknokratis.
Gelar doktor kini tak lebih dari tiket wajib untuk memenuhi syarat struktural kampus, dan jabatan profesor menjadi puncak karier formal yang diburu demi angka kredit dan tunjangan, bukan demi kontribusi intelektual yang bermakna. Di tengah sistem pendidikan tinggi yang semakin birokratis, ilmu kehilangan arah dan terjerumus dalam praktik skoristik akademik, di mana kualitas intelektual diukur dari kuantitas berkas, bukan dari kedalaman pemikiran atau relevansi sosial karya ilmiah yang dihasilkan.
Akibatnya, muncul fenomena yang mencemaskan: doktor dan profesor hadir sebagai gelar, bukan sebagai peran. Banyak yang menyandang gelar akademik tertinggi, namun tidak mampu atau tidak mau menurunkan ilmunya ke medan realitas sosial. Teori-teori yang mereka kembangkan tak pernah turun ke bumi, hanya hidup dalam jurnal, laporan, dan seminar tertutup yang jauh dari kebutuhan masyarakat. Bahkan lebih tragis, banyak karya ilmiah hanya dibuat untuk memenuhi target KUM (Kredit Angka Kum) demi kepentingan kenaikan pangkat, bukan karena dorongan untuk menjawab persoalan bangsa.
Dengan kondisi ini, pendidikan tinggi berada dalam ancaman krisis makna: kampus menjadi mesin pencetak gelar, bukan pusat pencarian dan penyebaran kebenaran. Ilmu terjebak di balik dinding-dinding birokrasi kampus, sementara masyarakat—yang seharusnya menjadi subjek dan mitra perubahan—ditinggalkan begitu saja
1. Budaya Akademik yang Skoristik: Antara KUM dan Kehampaan Makna
Sistem kenaikan jabatan akademik di Indonesia, yang berbasis pada Kredit Angka Kumulatif (KUM), telah mengubah paradigma ilmu pengetahuan dari pencapaian substansial menjadi permainan angka. Budaya ilmiah yang dulunya diharapkan dapat menghasilkan karya-karya transformatif, kini banyak terfokus pada pemenuhan kuantitatif—dimana publikasi dan seminar lebih dipandang sebagai angka yang harus dicapai demi kenaikan pangkat, daripada sarana untuk menciptakan pengetahuan yang relevan dan berdampak.
Fenomena ini dapat dijelaskan melalui teori Pierre Bourdieu tentang modal simbolik, yang menyatakan bahwa dalam arena sosial seperti pendidikan tinggi, gagasan dan pengakuan intelektual sering kali lebih ditentukan oleh kemampuan untuk mengumpulkan modal simbolik seperti publikasi, jabatan akademik, dan penghargaan, ketimbang kualitas atau dampak dari karya itu sendiri. Dalam konteks ini, gelar doktor dan jabatan profesor bukan hanya simbol dari kepakaran, tetapi juga alat untuk memperoleh status sosial dalam lingkungan akademik. KUM, dengan segala tuntutan kuantitatifnya, semakin memperparah pencapaian angka semata, tanpa memberi ruang bagi kualitas intelektual yang berfokus pada pemecahan masalah nyata di masyarakat.
Menurut data dari Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti), Indonesia menargetkan lebih dari 8.000 jurnal ilmiah terakreditasi nasional dalam dua tahun mendatang, meningkat pesat dari 2.270 jurnal yang ada saat ini. Namun, meskipun jumlah jurnal ilmiah Indonesia terus meningkat, kualitas dan relevansi dari publikasi-publikasi tersebut masih menjadi masalah besar. Ini mencerminkan ketidaksesuaian antara keberagaman jumlah karya ilmiah dengan kedalaman atau dampak karya terhadap kebutuhan masyarakat.
Perbandingan Internasional: Ketika KUM Tak Cukup Menjadi Penanda Kualitas
Fenomena ini semakin terasa ironis bila dibandingkan dengan negara-negara maju yang meskipun memiliki sistem penilaian akademik yang serupa, mereka mampu menciptakan dampak yang lebih besar pada masyarakat. Sebagai contoh, negara-negara seperti Swedia, Finlandia, dan Belanda tidak hanya menekankan pada kuantitas publikasi sebagai parameter keberhasilan akademik, tetapi juga lebih menghargai kualitas dan relevansi ilmiah yang dapat diterapkan dalam kehidupan nyata. Di negara-negara ini, publikasi ilmiah dilihat sebagai bagian dari kontribusi intelektual yang harus berdampak langsung pada perkembangan sosial-ekonomi atau kebijakan publik, bukan hanya untuk memenuhi kuota KUM.
- Di Finlandia, yang terkenal dengan sistem pendidikan tinggi yang berorientasi pada solusi nyata, para akademisi lebih didorong untuk berkolaborasi dengan industri dan pemerintah dalam menerapkan hasil riset ke dalam kebijakan sosial, ekonomi, dan teknologi. Di sana, meskipun KUM digunakan, karya ilmiah tidak hanya dipandang sebagai angka untuk kenaikan pangkat, melainkan sebuah kontribusi yang harus menambah nilai praktis dalam kehidupan masyarakat.
- Di Belanda, meskipun memiliki jumlah publikasi ilmiah yang lebih sedikit dibandingkan Indonesia (dengan lebih dari 30.000 publikasi pada tahun 2018), negara ini justru lebih unggul dalam hal impact factor (tingkat dampak) penelitian mereka di kancah internasional. Penelitian-penelitian yang dilakukan tidak hanya terfokus pada perhitungan angka, tetapi pada kualitas dan dampaknya terhadap perubahan sosial dan solusi bagi tantangan masyarakat.
KUM yang Terjebak dalam Angka: Implikasi terhadap Kualitas Penelitian
Indonesia, meskipun berada pada posisi yang cukup baik di peringkat ke-19 dunia dalam jumlah publikasi ilmiah dengan 26.498 tulisan ilmiah pada tahun 2018, masih jauh dari negara-negara seperti Belanda dan Swedia dalam hal pengaruh sosial dan pengabdian langsung ke masyarakat. Meskipun jumlahnya besar, banyak dari publikasi tersebut terputus dari konteks praktis, hanya terjebak dalam ruang lingkup akademik yang sempit dan cenderung mengawang.
Dalam konteks ini, teori Max Weber tentang birokrasi memberikan penjelasan lebih lanjut. Menurut Weber, birokratisasi dalam lembaga pendidikan tinggi menyebabkan institusi semakin terpusat pada prosedur administratif dan tuntutan kuantitatif, seperti KUM. Dalam sistem birokratis ini, penilaian terhadap keberhasilan akademik lebih mengutamakan angka dan prosedur yang terukur, sementara nilai-nilai seperti kualitas riset dan pengaruh sosial seringkali menjadi sekunder. Birokrasi yang terpusat pada proses administratif ini mengarah pada disorientasi tujuan, di mana akademik kehilangan keterhubungannya dengan tujuan awalnya: yaitu pengembangan pengetahuan yang relevan untuk kemajuan masyarakat.
2. Ilmu yang Mengawang: Teori yang Terputus dari Konteks
Di dunia pendidikan tinggi, khususnya dalam penelitian doktoral dan pascadoktoral, sering kali kita dihadapkan pada teori-teori yang tinggi, abstrak, dan penuh jargon ilmiah yang tampaknya jauh dari kehidupan nyata. Disertasi doktoral dan artikel ilmiah yang tersebar di jurnal-jurnal internasional, meskipun terlihat sangat berteori, sering kali terputus dari realitas lokal dan tidak diarahkan untuk menyelesaikan masalah sosial yang ada di sekitar kita. Penelitian yang dihasilkan cenderung fokus pada pemenuhan standar akademik internasional tanpa memperhitungkan konteks sosial, budaya, dan ekonomi yang relevan dengan masyarakat setempat.
Fenomena ini menggambarkan krisis epistemologis, di mana ilmu pengetahuan yang seharusnya menjadi alat pembebasan dan transformasi sosial justru berubah menjadi sekadar simbol prestise akademik dan legitimasi individual. Ilmu pengetahuan yang semestinya berkembang untuk mengatasi permasalahan kehidupan nyata kini terperangkap dalam lingkaran formalitas akademik yang mengawang, jauh dari dampak praktis yang diharapkan.
Teori Paulo Freire: “Banking Concept of Education”
Fenomena ini dapat dijelaskan lebih dalam dengan mengacu pada Paulo Freire, seorang pendidik Brasil yang terkenal dengan konsep pendidikan kritisnya. Dalam bukunya yang sangat berpengaruh, Pedagogy of the Oppressed, Freire mengkritik sistem pendidikan yang dia sebut sebagai “banking concept of education”. Dalam konsep ini, ilmu pengetahuan dipandang sebagai sesuatu yang disimpan dan diserahkan kepada siswa, tanpa ada upaya untuk menghubungkannya dengan pengalaman hidup siswa. Pendidikan, menurut Freire, sering kali hanya menjadi proses transfer pengetahuan dari pihak yang lebih berkuasa (pendidik) kepada pihak yang dianggap lebih rendah (pelajar), tanpa memperhatikan bagaimana pengetahuan tersebut bisa mengubah kondisi sosial dan kesejahteraan masyarakat.
Dalam konteks akademik yang lebih luas, fenomena ini dapat diterapkan pada penelitian doktoral dan pascadoktoral, di mana banyak karya ilmiah yang hanya mengumpulkan teori-teori yang tinggi, tetapi terputus dari kenyataan dan tidak dirancang untuk memberikan solusi terhadap permasalahan sosial yang dihadapi masyarakat. Alih-alih memberikan pencerahan atau solusi, ilmu pengetahuan menjadi sesuatu yang dikoleksi, dipublikasikan, dan disebarkan dalam lingkungan akademik untuk tujuan mendapatkan pengakuan, bukan untuk menciptakan perubahan sosial yang nyata.
Ilmu yang Terjebak dalam Dunia Akademik: Antara Teori dan Realitas
Perubahan sosial yang dapat diciptakan oleh ilmu pengetahuan sangat bergantung pada bagaimana teori diterjemahkan dalam konteks lokal dan dalam kehidupan nyata. Banyak akademisi, terutama yang sudah menyandang gelar doktor, cenderung lebih terfokus pada pemenuhan standar internasional yang ditetapkan oleh penerbit jurnal ilmiah atau badan-badan akademik internasional, seperti Scopus atau Web of Science. Hal ini menciptakan kecenderungan untuk menghasilkan karya-karya ilmiah yang bersifat generalisasi dan abstrak, sehingga tidak memberikan kontribusi nyata pada perubahan sosial yang mendalam di dalam masyarakat.
Realitasnya, banyak masyarakat menghadapi masalah yang sangat spesifik dan kontekstual, seperti kemiskinan, kesenjangan pendidikan, perubahan iklim, atau ketidakadilan sosial. Untuk memecahkan masalah-masalah tersebut, ilmu pengetahuan harus dikembangkan dengan pendekatan yang membumi, yaitu menyesuaikan teori dengan kebutuhan dan kondisi sosial yang ada. Tetapi sayangnya, penekanan pada standar publikasi internasional yang sering kali mengutamakan teori global dan universal mengakibatkan pemisahan antara ilmu pengetahuan yang diproduksi di dunia akademik dengan kebutuhan nyata di lapangan.
Krisis Epistemologis: Ketidakmampuan Ilmu Menyentuh Masalah Sosial
Krisis epistemologis ini menciptakan jurang pemisah yang semakin lebar antara ilmuwan dan masyarakat. Para akademisi seringkali terjebak dalam rutinitas ilmiah yang terpaku pada teori dan angka, sementara masyarakat terus berjuang dengan masalah yang konkret dan terabaikan. Penelitian yang dilakukan oleh banyak akademisi pascadoktoral kadang-kadang hanya berputar pada pencapaian standar—seperti kuantitas publikasi, skor jurnal, dan pengakuan internasional—tanpa memikirkan bagaimana hasil penelitian itu bisa diterapkan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Salah satu contoh nyata dari fenomena ini dapat dilihat dalam banyak penelitian sosial yang dilakukan di luar konteks masyarakat setempat, atau yang mengabaikan pandangan dan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Teori-teori tinggi yang ditulis dalam disertasi dan artikel ilmiah sering kali tidak relevan dengan realitas yang dihadapi masyarakat sehari-hari. Sebagai contoh, banyak penelitian tentang pembangunan ekonomi yang tidak memperhitungkan kearifan lokal, budaya, atau struktur sosial yang ada dalam masyarakat yang ingin dibantu.
Ilmu sebagai Alat Pembebasan vs. Alat Prestise
Seharusnya, ilmu pengetahuan memiliki peran penting dalam pembebasan—baik itu pembebasan intelektual maupun sosial. Dalam konsep pendidikan kritis yang diusung oleh Freire, ilmu pengetahuan tidak hanya berfungsi untuk memperoleh gelar atau menambah daftar publikasi, tetapi harus berperan sebagai alat perubahan yang dapat merespons dan memperbaiki ketimpangan sosial. Namun, ketika ilmu pengetahuan terjebak dalam konsep “banking” yang hanya mengedepankan transaksi informasi tanpa perubahan praktis, kita kehilangan arah untuk menjadikan ilmu sebagai sarana pembebasan.
Realitas: Menciptakan Ilmu yang Membumi dan Relevan
Dalam hal ini, sangat penting untuk menyadari bahwa ilmu pengetahuan yang berbasis teori tinggi harus dapat terhubung dengan kebutuhan nyata masyarakat. Misalnya, penelitian tentang perubahan iklim di Indonesia harus memperhitungkan kondisi ekologis dan sosial yang sangat beragam di setiap wilayah, dan bukan hanya terfokus pada data global yang mungkin tidak relevan dengan konteks lokal. Begitu juga dengan kajian pendidikan: teori-teori pendidikan harus bisa diterjemahkan dalam praktik yang dapat mengatasi ketidakadilan pendidikan di tingkat lokal, bukan sekadar memenuhi standar internasional.
Ilmu yang mengawang, terputus dari konteks sosial dan realitas, tidak akan membawa perubahan yang berarti bagi masyarakat. Ilmu yang harus diperjuangkan adalah ilmu yang berakar pada masalah konkret, dan memberikan solusi praktis untuk perubahan sosial yang berkelanjutan.
3. Ketiadaan Pengabdian yang Transformatif
Pengabdian masyarakat, yang seharusnya menjadi bagian penting dari tridarma perguruan tinggi, sering kali terjebak dalam rutinitas formalitas administratif. Program-program seperti pelatihan singkat, seminar yang tidak berkelanjutan, atau kegiatan yang hanya sekadar memenuhi kewajiban administratif, sering kali tidak menghasilkan dampak signifikan bagi masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa pengabdian masih dipandang sekadar sebagai tugas tambahan yang terpisah dari misi utama akademik.
Namun, pengabdian yang sejati harus bersifat transformatif, yang berarti melibatkan masyarakat secara langsung, berfokus pada kebutuhan riil mereka, dan menghasilkan dampak jangka panjang. Dalam hal ini, teori engaged scholarship yang dikembangkan oleh Ernest Boyer sangat relevan. Boyer menekankan pentingnya keterlibatan akademisi untuk menjembatani antara teori dan praktik, serta antara dunia kampus dan masyarakat. Ini berarti bahwa akademisi tidak hanya menghasilkan penelitian untuk dipublikasikan di jurnal ilmiah, tetapi juga berkontribusi langsung pada peningkatan kualitas hidup dan pemecahan masalah nyata di masyarakat.
4. Epistemologi Ilmu yang Terputus dari Praktik Sosial
Banyak akademisi, setelah meraih gelar doktor atau profesor, secara perlahan menjauh dari kehidupan sosial masyarakat. Mereka lebih sering hadir dalam ruang-ruang akademik yang eksklusif—seperti seminar terbatas, diskusi ilmiah berbahasa asing, atau publikasi di jurnal internasional—yang sulit diakses oleh publik luas. Akibatnya, ilmu dan gagasan yang mereka miliki tidak lagi menyentuh realitas kehidupan masyarakat, bahkan cenderung terkunci dalam ruang-ruang intelektual yang tertutup.
Fenomena ini menggambarkan apa yang oleh Edward Said disebut sebagai “intelektual menara gading”, yaitu para cendekiawan yang terlalu sibuk membangun reputasi pribadi dan prestise akademik, sehingga lupa akan tanggung jawab sosialnya. Intelektual seperti ini kehilangan kedekatan dengan suara-suara yang paling membutuhkan pembelaan: mereka yang terpinggirkan, tidak terdengar, dan tak punya akses pada ruang-ruang pengambilan keputusan.
Padahal, peran sejati seorang intelektual bukan hanya menghasilkan pengetahuan, tetapi menyuarakan kepentingan mereka yang tidak memiliki suara. Seorang akademisi seharusnya hadir sebagai jembatan antara dunia pengetahuan dan dunia nyata, bukan hanya berbicara di atas panggung ilmiah, tetapi juga hadir di tengah masyarakat, mengadvokasi keadilan, dan terlibat dalam perubahan sosial.
Dengan kata lain, intelektualitas bukan hanya soal gelar atau jurnal, tapi soal keberanian menghadirkan ilmu untuk mereka yang paling membutuhkannya.
5. Menuju Akademisi yang Membumi: Jalan Pemulihan Intelektual
Situasi akademik kita hari ini memang memprihatinkan, tetapi bukan berarti tanpa harapan. Dunia pendidikan tinggi masih bisa diarahkan kembali ke jalurnya sebagai alat perubahan sosial, bukan sekadar tempat mengejar gelar dan jabatan. Untuk itu, dibutuhkan upaya bersama agar kampus tidak hanya menjadi tempat menulis teori, tetapi juga hadir nyata di tengah masyarakat.
Beberapa langkah berikut bisa menjadi awal pemulihan intelektual, agar akademisi kembali membumi dan berkontribusi nyata:
- Mengubah Cara Menilai Kinerja Akademik
Saat ini, kinerja dosen banyak dinilai dari jumlah publikasi atau seminar yang diikuti, bukan dari seberapa besar dampaknya bagi masyarakat. Teori kapital budaya dari Pierre Bourdieu menjelaskan bahwa dalam dunia akademik, sering kali yang dihargai adalah “modal simbolik” seperti gelar, jabatan, dan publikasi, bukan manfaat sosial dari pengetahuan itu sendiri.
Karena itu, cara menilai akademisi perlu berubah. Penilaian seharusnya berfokus pada kualitas, keberlanjutan, dan kebermanfaatan. Misalnya, apakah risetnya memberi solusi nyata bagi desa, kota, atau kebijakan? Bukan hanya berapa kali tulisannya dikutip.
- Menghidupkan Lagi Pengabdian Masyarakat
Pengabdian masyarakat sebagai bagian dari tridarma perguruan tinggi masih sering dijalankan sebatas formalitas. Kegiatan seperti pelatihan singkat atau seminar tanpa kelanjutan belum menunjukkan keterlibatan yang bermakna.
Untuk mengubahnya, pendekatan yang digunakan sebaiknya mengikuti prinsip community-based research atau service learning, yang mendorong kolaborasi jangka panjang antara kampus dan masyarakat. Ini sejalan dengan pandangan Ernest Boyer dalam konsep engaged scholarship, bahwa tugas akademisi bukan hanya menghasilkan teori, tetapi juga menjembatani antara ilmu dan kehidupan nyata.
- Mendorong Akademisi Turun ke Akar Rumput
Akademisi tidak cukup hanya hadir di jurnal atau seminar ilmiah. Mereka perlu menjadi bagian dari perubahan sosial secara langsung, hadir di tengah masyarakat, mendengarkan suara-suara yang terpinggirkan, dan ikut serta dalam advokasi atau program pembangunan.
Antonio Gramsci menyebut pentingnya peran intelektual organik, yaitu cendekiawan yang bukan hanya berpikir dari ruang kerja, tetapi benar-benar hidup dan bekerja bersama masyarakat. Akademisi seperti inilah yang mampu mengubah ilmu menjadi kekuatan sosial, bukan hanya simbol akademik.
- Membuka Akses Ilmu Pengetahuan untuk Semua
Ilmu sering kali tertutup dalam jurnal berbayar, ditulis dengan bahasa teknis, dan tidak bisa diakses publik. Paulo Freire, dalam Pedagogy of the Oppressed, mengingatkan bahwa ilmu seharusnya membebaskan, bukan mengasingkan. Pengetahuan harus disampaikan dalam bahasa yang bisa dimengerti oleh semua, agar rakyat bisa terlibat dalam proses berpikir kritis.
Karena itu, perlu ada dorongan untuk membumikan ilmu—menulis dalam bahasa populer, membuat buku saku untuk masyarakat, atau berbagi lewat media sosial. Tujuannya adalah agar ilmu bisa hidup di tengah masyarakat, bukan hanya tersimpan di rak perpustakaan.
Penutup
Di antara gelar doktor dan jabatan profesor, terbentang perjalanan panjang yang semestinya tidak hanya dipenuhi angka kredit atau syarat administratif. Gelar bukan semata simbol prestise, tapi seharusnya menjadi tanggung jawab moral dan sosial. Ketika ilmu hanya hidup di ruang akademik dan berhenti di atas kertas, ia kehilangan jiwanya. Namun, ketika ilmu mampu menyentuh realitas, menjadi bagian dari suara rakyat, dan menjawab masalah-masalah nyata, maka barulah gelar dan jabatan itu menemukan arti yang sesungguhnya.
Kita telah melihat bahwa:
- Kinerja akademik tak cukup diukur dari jumlah publikasi. Yang lebih penting adalah kualitas dan dampak nyata dari karya ilmiah terhadap masyarakat.
- Pengabdian masyarakat tidak boleh sekadar formalitas. Ia harus menjadi bagian dari keterlibatan jangka panjang yang mendorong perubahan bersama masyarakat.
- Akademisi bukan hanya penulis jurnal, tetapi juga penggerak, pembelajar, dan pendamping masyarakat dalam menghadapi persoalan sosial yang riil.
- Ilmu pengetahuan seharusnya terbuka untuk semua, hadir dengan bahasa yang membumi, dan mampu mencerahkan, bukan mengasingkan.
Ilmu harus kembali menjadi jembatan antara pemikiran dan kehidupan, antara kampus dan komunitas, antara teori dan tindakan. Dan itu dimulai dengan keberanian para akademisi untuk menata ulang orientasinya—bukan sekadar mengejar jabatan, tapi menghidupkan makna dari gelar yang disandangnya.
Dengan begitu, pendidikan tinggi bukan hanya tempat naik pangkat, tetapi menjadi ruang untuk menumbuhkan pemikiran yang berpihak pada kemanusiaan
Referensi :
- Freire, Paulo. Pedagogy of the Oppressed. Bloomsbury Academic, 2018.
- Gramsci, Antonio. Selections from the Prison Notebooks. Edited by Quintin Hoare & Geoffrey Nowell-Smith. Lawrence & Wishart, 1971.
- Bourdieu, Pierre. Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste. Harvard University Press, 1984
- Boyer, Ernest L. Scholarship Reconsidered: Priorities of the Professoriate. Carnegie Foundation for the Advancement of Teaching, 1990.
- Nuh, Muhammad. Pendidikan untuk Perubahan Sosial. Penerbit Erlangga, 2003.
- Rosyada, Dede. Pendidikan Inklusif: Konsep dan Implementasi. Penerbit Remaja Rosdakarya, 2009.