Oleh. Amir Mahmud
Beberapa hari terakhir, masyarakat menyaksikan ketegangan antara Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, terkait program penanganan siswa nakal melalui pendekatan pendidikan bergaya militer. Program ini mengundang kontroversi. Di satu sisi, ia disebut melanggar hak anak, namun di sisi lain, ada kesaksian tentang perubahan sikap dan empati para peserta yang menjalani pelatihan. Lalu, apakah kita sedang membahas represi terhadap anak, atau justru pembentukan karakter yang selama ini hilang dari sistem pendidikan kita?
Realitas yang Tak Bisa Diabaikan
Fakta bahwa ribuan remaja di Jawa Barat terjerat masalah kenakalan, kekerasan, bahkan kriminalitas adalah alarm keras yang tidak bisa dipadamkan hanya dengan seminar, buku panduan parenting, atau himbauan moral semata. Maka ketika Dedi Mulyadi mengambil langkah tak lazim—membentuk barak khusus dengan pendekatan disipliner ala militer—ia benar-benar sedang menjawab kegagalan sistem yang lebih besar.
Namun, benarkah solusi darurat ini bebas dari catatan kritis?
Kritik KPAI: Reaktif tapi Perlu Didengar
KPAI menyampaikan kekhawatiran bahwa pendekatan seperti ini berpotensi melanggar hak anak. Tentu saja, sebagai lembaga yang dibentuk untuk memastikan setiap anak diperlakukan dengan penuh hormat terhadap martabatnya, kritik ini tidak bisa dianggap remeh.
Namun kritik akan kehilangan maknanya bila hanya berhenti pada teknis—seperti keluhan soal tempat tidur atau ruangan standar. Masalahnya bukan terletak di kasur , tetapi pada apakah ada sistem perlindungan dan pengawasan yang menjamin anak-anak tersebut tidak kehilangan hak dasar mereka selama pelatihan.
Sebaliknya, kritik itu akan bermakna bila dibarengi dengan keterlibatan. Seharusnya KPAI hadir bukan sekedar sebagai penonton yang melontarkan opini, melainkan sebagai mitra dalam menyusun standar etik, psikologis, dan hukum yang jelas untuk program semacam ini.
Disiplin sebagai Pilar, Bukan Alat Tekanan
Yang perlu ditegaskan adalah: disiplin tidak identik dengan kekerasan, dan ketegasan tidak identik dengan represi . Pendidikan ala militer yang dianut oleh program ini bisa bernilai positif asalkan dilaksanakan dalam koridor etika dan pedagogi modern .
Disiplin adalah pilar penting dalam membangun karakter bangsa. Bangsa yang lemah secara disiplin akan runtuh dari dalam sebelum diserang dari luar. Namun pendekatan ini juga harus menyentuh dimensi kemanusiaan—nilai, kasih sayang, keadilan, dan hak anak untuk tumbuh dalam suasana psikologis yang sehat.
Perlu Keterlibatan Polri dan Pendekatan Hukum
Satu hal yang patut dikembangkan dari program ini adalah keterlibatan institusi hukum seperti Polri. Kenakalan remaja bukan hanya soal sikap atau moral, tetapi juga menyangkut kesadaran hukum yang lemah. Banyak anak yang tidak memahami tindakannya secara hukum dan sosial. Maka pelibatan kepolisian dalam bentuk pendidikan hukum, pengenalan norma sosial, dan pembentukan rasa tanggung jawab merupakan langkah strategi yang perlu dilakukan.
Refleksi AMC: Menuju Generasi Mandiri, Religius, dan Berkarakter
Amir Mahmud Center (AMC) menilai dari perspektif pragmatis dan sosial, inisiatif Gubernur Dedi Mulyadi layak mendapat apresiasi. Di tengah derasnya arus kenakalan remaja yang semakin kompleks, langkah cepat untuk menangani mereka melalui pendekatan disipliner adalah kebijakan taktis yang berani. Program ini mencoba menanamkan nilai-nilai luhur seperti disiplin, empati, serta penghormatan kepada orang tua—nilai-nilai yang kian langka dan tidak selalu terakomodasi dalam sistem pendidikan formal kita. Namun demikian program ini bukanlah akhir, melainkan awal dari upaya panjang membentuk mentalitas anak bangsa yang mandiri, santun, religius, dan bangga terhadap bangsanya.
Lebih dari sekedar pelatihan fisik, program ini menyentuh sisi emosional dan spiritual anak. Pengalaman seperti menangis di hadapan ibu dan mencium kakinya, sebagaimana dituturkan Dedi, mencerminkan terjadinya perubahan karakter yang mendalam. Ini bukan hanya soal perilaku, tetapi tentang kesadaran diri—dan mungkin, titik balik yang menentukan masa depan seorang remaja.
Jika program ini benar-benar mampu menumbuhkan kesadaran, empati, dan transformasi sikap sebagaimana dicontohkan oleh 39 anak yang telah menyelesaikan pelatihan, maka di sana ada harapan yang patut dijaga. Namun demikian, keberhasilan jangka panjang hanya akan tercapai bila sistem penguatan dan pengawasan dibangun secara menyeluruh—melibatkan psikolog, tokoh agama, pendidik, dan lembaga hukum—sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pengembangan program ini.
Penutup: Bukan Pilihannya yang Salah, Tapi Caranya yang Harus Dijaga
Kita tidak sedang memperdebatkan apakah anak nakal perlu dididik dengan disiplin atau tidak. Yang dipersoalkan adalah bagaimana pendekatan itu dilakukan. Apakah dengan prinsip kemanusiaan atau dengan dogma otoritarian?
AMC percaya bahwa masa depan Indonesia ada di tangan generasi muda yang memiliki jiwa nasionalis, religius, dan tangguh. Dan untuk itu, semua pihak—baik pemerintah daerah, lembaga perlindungan anak, hingga masyarakat sipil—harus berhenti saling menyalahkan dan mulai membangun sinergi.
Disiplin itu penting. Tapi kasih tanpa, ia hanya menjadi perintah kosong. Editor Amir ( AMC )