Oleh .Amir Mahmud ( AMC )
Kekuasaan dalam perspektif sejarah maupun agama tidak pernah bersifat mutlak dan abadi. Sejarah mencatat bahwa semua bentuk kekuasaan pada akhirnya mengalami kehancuran. Islam menegaskan bahwa kekuasaan hanyalah titipan Allah yang harus dijalani dengan amanah. Artikel singkat ini menyoroti kefanaan kekuasaan, tanggung jawab moral pemimpin, serta bahaya ambisi mempertahankan kekuasaan yang dapat menimbulkan kerusakan sosial.
Pendahuluan
Sejarah politik manusia adalah kisah silih bergantinya kekuasaan. Peradaban besar—dari Babilonia, Mesir, Romawi, hingga Dinasti Islam—pada akhirnya mengalami keruntuhan. Hal ini menegaskan bahwa kekuasaan bukanlah sesuatu yang abadi. Dalam perspektif Islam, kekuasaan hanyalah amanah yang dititipkan oleh Allah SWT dan akan diminta pertanggungjawabannya kelak (Nasution, 2012: 45).
Kesadaran akan kefanaan kekuasaan ini seharusnya mendorong manusia, khususnya para pemimpin, untuk menempatkan kekuasaan sebagai sarana, bukan tujuan. Kekuasaan bukanlah alat untuk meneguhkan ambisi pribadi atau memperluas dominasi, melainkan instrumen untuk menegakkan keadilan dan kesejahteraan sosial. Dengan demikian, ketika kekuasaan dijalankan secara amanah, ia tidak hanya memiliki legitimasi politik, tetapi juga legitimasi moral dan spiritual yang sesuai dengan nilai-nilai Islam (Effendy, 2005: 112).
Kekuasaan sebagai Amanah
Al-Qur’an menegaskan:
قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَن تَشَاءُ وَتَنزِعُ الْمُلْكَ مِمَّن تَشَاءُ…
“Katakanlah, Wahai Tuhan Yang memiliki kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada siapa yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kerajaan dari siapa yang Engkau kehendaki…” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 26)
Ayat ini mengajarkan bahwa kekuasaan bukanlah hasil ambisi pribadi, melainkan bagian dari kehendak Ilahi. Rasulullah SAW juga memperingatkan bahwa kepemimpinan adalah amanah yang berat, yang kelak bisa menjadi kehinaan di akhirat jika tidak dijalani dengan adil (Muslim, 2000: 121).
Ambisi Kekuasaan dan Kerusakan Sosial
Kekuasaan yang dijalani dengan amanah akan melahirkan keadilan dan kesejahteraan. Namun, ketika kekuasaan dipertahankan dengan ambisi yang berlebihan, ia justru menimbulkan keburukan dan kejahatan sosial. Maka janganlah mempunyai ambisi untuk terus berdaya, karena hal itu hanya akan melahirkan ketidakadilan, ketidakadilan, dan kerusakan tatanan masyarakat.
Ibnu Khaldun dalam al-Muqaddimah menegaskan bahwa kekuasaan yang dipertahankan dengan ambisi akan membawa kehancuran, karena setiap dinasti mengalami siklus lahir, berkembang, jaya, melemah, lalu runtuh (Ibnu Khaldun, 1967: 308). Ambisi yang tidak terkendali menjadikan kekuasaan sebagai berhala baru, yang mendorong lahirnya praktik korupsi, manipulasi hukum, politik kekerasan, hingga konflik horizontal (Huntington, 1991: 72).
Sejalan dengan itu, Al-Mawardi dalam al-Ahkām al-Sulthāniyyah menekankan bahwa tujuan kekuasaan adalah iqāmat ad-dīn wa siyāsat ad-dunyā (menegakkan agama dan mengatur urusan dunia) (Al-Mawardi, 1989: 15). Oleh karena itu, kekuasaan seharusnya dipandang sebagai sarana, bukan tujuan akhir.
Kata AMC
Kekuasaan bersifat fana dan akan berakhir pada waktunya. Bagi orang beragama, kekuasaan adalah amanah yang harus dijalankan dengan tanggung jawab moral dan spiritual. Ambisi untuk mempertahankan kekuasaan secara berlebihan hanya akan membawa kehancuran, baik bagi penguasa maupun masyarakat. Maka, kekuatan sejati bukanlah yang langka di dunia, melainkan yang meninggalkan jejak keadilan, keberkahan, dan amal kebaikan. Editor Amir
📚 Daftar Pustaka (contoh)
-
Al-Mawardi. (1989). al-Ahkām al-Sulthāniyyah . Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
-
Huntington, SP (1991). Gelombang Ketiga: Demokratisasi di Akhir Abad ke-20 . Norman: Pers Universitas Oklahoma.
-
Ibnu Khaldun. (1967). Muqaddimah: Sebuah Pengantar Sejarah . Princeton: Pers Universitas Princeton.
-
Muslim, Imam. (2000). Shahih Muslim . Beirut: Dar Ihya’ at-Turath.
-
Nasution, H. (2012). Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya . Jakarta: Pers UI.
