SEKILAS INFO
Selamat Datang di Website Amir Mahmud Center
Jumat, 7/11/2025

Kekuatan Ada Bersama Rakyat

Oleh. Amir Mahmud

Dalam sejarah politik modern, ungkapan “kekuatan ada bersama rakyat” bukan sekadar slogan, melainkan pernyataan filosofis yang menegaskan prinsip dasar kedaulatan rakyat (popular sovereignty). Gagasan ini menjadi fondasi utama demokrasi modern: bahwa sumber tertinggi kekuasaan bukanlah penguasa, partai, atau institusi, melainkan rakyat sebagai pemilik mandat politik yang sah.

Secara teoretis, konsep ini berakar pada pemikiran Jean-Jacques Rousseau dalam The Social Contract (1762) dan John Locke dalam Two Treatises of Government (1690). Keduanya menolak absolutisme dan menegaskan bahwa kekuasaan hanya sah apabila dibangun di atas persetujuan rakyat (consent of the governed). Dengan demikian, kekuasaan politik bersifat delegatif—diberikan oleh rakyat untuk kepentingan rakyat, bukan untuk memperkuat dominasi segelintir elit.

Namun dalam praktiknya, jarak antara rakyat dan kekuasaan sering melebar. Ketika birokrasi berubah menjadi alat kepentingan politik dan ekonomi, kekuatan rakyat direduksi menjadi formalitas elektoral. Fenomena ini disebut delegitimasi politik, di mana pemerintah kehilangan daya moral untuk memerintah karena gagal mempertahankan kepercayaan publik. Dalam konteks ini, kekuatan sosial rakyat—berupa opini publik, gerakan sipil, dan solidaritas kolektif—muncul sebagai kekuatan korektif terhadap penyimpangan kekuasaan.

Secara sosiologis, kekuatan rakyat dapat dimaknai sebagai kapital sosial (social capital) — yaitu jaringan kepercayaan, norma, dan solidaritas yang memungkinkan masyarakat berkolaborasi untuk mencapai tujuan bersama. Robert Putnam (1993) menunjukkan bahwa keberhasilan institusi demokrasi tidak hanya ditentukan oleh aturan formal, tetapi juga oleh kualitas partisipasi warga dan tingkat kepercayaan sosial di antara mereka. Masyarakat yang aktif dan saling percaya lebih mampu menjaga stabilitas politik dibandingkan masyarakat yang apatis dan terfragmentasi.

Dalam konteks Indonesia hari ini, kekuatan rakyat kembali menjadi kata kunci bagi arah perubahan. Rezim Prabowo yang baru lahir membawa ekspektasi besar dari rakyat: bahwa perubahan kali ini harus benar-benar berbeda dari rezim sebelumnya. Bukan sekadar perubahan administratif atau kosmetik politik, melainkan perubahan substansial yang berpihak pada rakyat, bukan oligarki.

Prabowo harus mampu membalik logika kekuasaan dari oligarchic democracy menuju participatory democracy—dari pemerintahan yang dikendalikan oleh jaringan kepentingan ekonomi dan politik menuju pemerintahan yang transparan, inklusif, dan meritokratis. Tantangan utama pemerintahan saat ini bukan hanya soal pertumbuhan ekonomi, tetapi bagaimana memastikan kekuasaan tidak tersandera oleh kepentingan elit. Rakyat menuntut keadilan sosial, distribusi kekayaan yang lebih merata, serta penegakan hukum yang independen dari tekanan politik dan bisnis.

Dari sisi etika publik, kekuatan rakyat bukan sekadar kemampuan untuk menekan kekuasaan, tetapi tanggung jawab untuk mengawasi, mengingatkan, dan memperbaiki. Demokrasi sejati menuntut kebebasan yang berimbang dengan kedewasaan moral. Rakyat yang kuat adalah rakyat yang berpikir kritis dan rasional, sementara pemimpin yang kuat adalah yang berani mendengar suara rakyat tanpa rasa takut kehilangan dukungan elit.

Dengan demikian, pernyataan “kekuatan ada bersama rakyat” adalah refleksi ilmiah tentang hubungan timbal balik antara negara dan warga negara. Ia menegaskan bahwa legitimasi politik adalah fungsi dari kepercayaan sosial. Negara yang ingin kuat harus memperkuat rakyatnya—melalui pendidikan, partisipasi publik, dan keadilan sosial. Sebaliknya, ketika rakyat dilemahkan melalui ketimpangan dan oligarki, maka kekuasaan kehilangan pijakan moral dan historisnya.

Kekuatan rakyat bukan ancaman bagi negara, melainkan fondasi keberlanjutan negara itu sendiri. Dalam konteks rezim Prabowo, hanya dengan keberanian menegakkan keadilan dan membatasi dominasi oligarki, perubahan akan menjadi nyata. Sebab dalam setiap bab sejarah, kekuasaan yang bertahan bukanlah yang paling keras, melainkan yang paling dipercaya rakyatnya. Editor, Amir