Oleh. Amir Mahmud
Dalam sejarah bangsa-bangsa, kita sering menyaksikan ironi besar: orang jujur tersingkir, kebenaran dikalahkan, dan kebohongan dimenangkan atas nama sistem. Bahkan dalam bingkai demokrasi yang diagungkan sebagai lambang keadilan rakyat, kejujuran kerap menjadi korban dari permainan kepentingan dan kepalsuan moral.
Padahal, demokrasi sejati seharusnya berdiri di atas fondasi moral, bukan sekadar mekanisme suara. Namun ketika suara rakyat dibentuk oleh manipulasi, uang, dan propaganda, maka demokrasi berubah menjadi tirani yang dilegalkan — indah di permukaan, busuk di dalam. Inilah yang pernah diperingatkan oleh Alexis de Tocqueville, bahwa “demokrasi tanpa moral akan melahirkan tirani mayoritas.”
Demokrasi Tanpa Etika — Kemenangan yang Palsu
Dalam sistem yang buruk, kejujuran menjadi subversif, dan kebenaran dianggap ancaman. Orang-orang jujur sering kali gagal bukan karena lemah, tetapi karena menolak ikut arus kebusukan. Mereka tidak mampu “bermain” di meja yang sudah ditentukan oleh kepentingan dan uang.
Kekuasaan yang mestinya menjadi alat kesejahteraan berubah menjadi arena pertarungan kepentingan pribadi dan kelompok. Media dibungkam, moral digadaikan, dan rakyat dibujuk dengan retorika indah yang menutupi kejahatan struktural. Dalam situasi seperti itu, kebenaran memang bisa kalah — tapi hanya sementara.
Kebenaran Tak Pernah Mati
Islam menegaskan bahwa kebenaran tidak akan selamanya terbungkam.
وَقُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ ۚ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا
“Dan katakanlah: Telah datang kebenaran dan lenyaplah kebatilan. Sesungguhnya kebatilan itu pasti lenyap.”
(QS. Al-Isrā’: 81)
Ayat ini bukan hanya janji teologis, tetapi juga prinsip sosial: bahwa kebenaran akan selalu menemukan jalannya. Namun untuk sampai ke sana, dibutuhkan jiwa-jiwa yang teguh — mereka yang berani membayar harga mahal demi integritas, bukan demi jabatan.
Masalahnya Ada pada Jiwa, Bukan Sistem
Demokrasi, seperti sistem apa pun, hanyalah alat. Ia bisa menjadi rahmat bila dijalankan dengan nurani, atau bencana bila dikendalikan oleh kerakusan. Sistem tidak pernah benar-benar netral; yang membuatnya mulia atau busuk adalah manusia di dalamnya.
Ketika politik kehilangan moral, hukum kehilangan keberpihakan, dan rakyat kehilangan kepekaan, maka demokrasi kehilangan jiwanya. Ia menjadi seperti tubuh tanpa ruh — hidup secara formal, tetapi mati secara nilai.
Jalan Pulang — Moralitas Publik
Bangsa yang ingin selamat tidak cukup hanya membangun sistem politik, tetapi harus membangun sistem moral publik.
Kejujuran, keberanian moral, dan tanggung jawab sosial harus dijadikan nilai utama, bukan sekadar slogan. Pemimpin yang benar bukan yang pandai bicara, tetapi yang mampu menjaga nurani di tengah godaan sistem.
Demokrasi baru akan berarti bila kebenaran menjadi dasar keputusan, bukan kemenangan semu atas nama rakyat.
Penutup AMC
Kebenaran memang bisa kalah dalam sistem yang buruk, tetapi kekalahan itu tidak selamanya.
Yang sesungguhnya kalah adalah sistem yang membiarkan kebohongan menang.
Karena waktu dan sejarah selalu berpihak kepada mereka yang jujur, bukan kepada mereka yang pandai berpura-pura. Editor Amir
