Amir Mahmud
Dalam sistem demokrasi, kebebasan berserikat dan menyampaikan pendapat adalah hak fundamental setiap warga negara. Namun ketika kebebasan ini disalahgunakan oleh organisasi kemasyarakatan (ormas) yang mengusung gaya militeristik dan menjadikan kekerasan sebagai alat perjuangan, maka hak tersebut tidak lagi menjadi simbol demokrasi, melainkan senjata untuk merusak demokrasi itu sendiri.
Fenomena kemunculan ormas brutal yang mengatasnamakan aspirasi rakyat telah menjadi gejala yang mengkhawatirkan di Indonesia. Dengan seragam mirip militer, struktur komando yang kaku, dan retorika perlawanan yang dibalut simbol kebangsaan, kelompok-kelompok ini membangun citra sebagai pelindung rakyat. Namun kenyataannya, mereka kerap menjadi pelaku tindakan anarkis: merusak fasilitas publik, menyerang aparat, hingga mengancam keamanan nasional. Di balik klaim memperjuangkan kepentingan rakyat, tersembunyi kepentingan kekuasaan, ideologi sempit, dan pemaksaan kehendak yang mengabaikan hukum.
Kita harus menyebutnya dengan jujur: ini bukan lagi gerakan sipil, melainkan radikalisme sipil yang berpotensi membentuk milisi jalanan. Negara tidak boleh ragu menyebut kekerasan sebagai kekerasan, siapa pun pelakunya. Membiarkan ormas brutal beroperasi atas nama “aspirasi rakyat” sama artinya dengan membiarkan demokrasi dihancurkan dari dalam. Aspirasi yang disuarakan dengan membakar, merusak, dan mengintimidasi bukanlah aspirasi rakyat—itu bentuk perusakan hukum dan institusi negara.
Tanggung jawab negara di sini bersifat mutlak. Pemerintah dan aparat penegak hukum harus bertindak cepat, tegas, dan tidak diskriminatif. Penegakan hukum tidak boleh kalah oleh tekanan massa. Setiap tindakan kekerasan yang melibatkan ormas harus diselidiki secara menyeluruh, diproses secara hukum, dan ditindak dengan sanksi yang setimpal. Bahkan, pembubaran ormas yang terbukti menjadi ancaman nyata terhadap ketertiban dan keamanan publik harus menjadi opsi yang terbuka dan berani diambil oleh negara.
Namun, penindakan saja tidak cukup. Negara juga memiliki tanggung jawab untuk memperbaiki saluran aspirasi yang sah dan demokratis. Ketika masyarakat merasa suara mereka tidak didengar, maka radikalisme akan tumbuh subur. Oleh karena itu, penguatan lembaga demokrasi, pemberdayaan masyarakat sipil yang sehat, serta pendidikan politik yang mencerdaskan harus menjadi bagian dari strategi jangka panjang untuk menangkal radikalisme sipil.
Kita tidak boleh abai. Demokrasi bukan hanya tentang membiarkan semua suara terdengar, tetapi juga tentang memastikan bahwa suara-suara itu disampaikan secara damai dan dalam koridor hukum. Ketika kekerasan dipakai sebagai alat perjuangan, demokrasi telah dibajak. Dan jika negara diam, maka pembajakan itu akan menjadi permanen.
Inilah saatnya bagi bangsa ini untuk menarik garis tegas: antara kebebasan dan pelanggaran, antara aspirasi dan anarki, antara hak sipil dan radikalisme terselubung. Demokrasi tidak boleh dibiarkan menjadi korban dari mereka yang mengaku membelanya, tetapi sesungguhnya ingin menggantikannya dengan kekuasaan jalanan yang brutal. ( DirAMC )