SEKILAS INFO
Selamat Datang di Website Amir Mahmud Center
Jumat, 7/11/2025

Mencari Nurani dalam Labirin Kekuasaan, Sebuah Panggilan untuk Etika Politik

Oleh. Amir Mahmud

Dalam panggung politik kontemporer, kita disuguhi sebuah paradoks yang memilukan. Di satu sisi, demokrasi memberikan kita ruang untuk memilih para wakil yang diharapkan membawa suara rakyat. Di sisi lain, kita semakin sering menyaksikan pertunjukan di mana kekuasaan bukan lagi alat untuk melayani, melainkan tujuan yang diperebutkan dengan segala cara. Di titik inilah, pertanyaan tentang etika politik bukan lagi sekadar wacana akademis yang elitis, melainkan sebuah kebutuhan yang mendesak untuk diselamatkan dari kepunahan.

Etika politik, pada hakikatnya, adalah kompas moral yang seharusnya membimbing setiap tindakan dan kebijakan para pemegang amanah. Ia adalah kerangka nilai yang menuntut akuntabilitas, kejujuran, integritas, dan komitmen untuk kebaikan bersama (bonum commune). Namun, kompas ini hari ini seringkali dimagnetisasi oleh kepentingan jangka pendek: popularitas, kekayaan, dan kekuasaan itu sendiri.

Kita menyaksikan gejala-gejala yang menggerogoti fondasi etika ini:

1. Instrumentalisasi Kebenaran. Fakta dan data dengan mudah dibengkokkan untuk memenuhi narasi politik tertentu. Hoaks dan disinformasi bukan lagi produk sampingan, melainkan senjata yang dioperasikan secara sistematis. Dalam labirin ini, publik dibuat bingung dan skeptis, tidak hanya kepada politisi, tetapi kepada institusi kebenaran itu sendiri.
2. Politik Identitas yang Eksploitatif. Perbedaan suku, agama, ras, dan golongan (SARA) bukannya dirayakan sebagai kekayaan bangsa, melainkan dijadikan batu pijakan untuk meraih dukungan. Politik bukan lagi tentang visi dan program, melainkan tentang mengeraskan sentimen kelompok dan menciptakan “kita” versus “mereka”. Etika politik menuntut pemimpin untuk mempersatukan, bukan memecah belah.
3. Peleburan Etika dalam Pragmatisme. Kalimat “Dalam politik, segala cara dihalalkan” telah menjadi mantra yang diterima secara diam-diam. Korupsi, transaksional, dan politik uang dijustifikasi sebagai “bagian dari permainan”. Ketika etika dilebur menjadi pragmatisme semata, maka yang tersisa hanyalah kekuasaan yang gundul dan tak punya malu.

Lalu, ke manakah kita harus berbalik?

Pertama, tuntutan dari rakyat harus lebih cerdas dan lebih keras. Masyarakat sipil, media, dan setiap warga negara harus menolak untuk dijebak dalam permainan politik yang tidak beretika. Kita harus beralih dari politik pencitraan ke politik substansi. Tanyakan program, tuntut bukti, dan jadikan integritas sebagai harga mati dalam memilih.

Kedua, penguatan institusi. Lembaga penegak hukum seperti KPK, pengadilan, dan badan pengawas harus diberi ruang dan dukungan untuk bekerja secara independen. Tanpa penegakan hukum yang kuat dan tanpa pandang bulu, etika hanyalah akan menjadi slogan yang tak bergigi.

Ketiga, pendidikan karakter yang masif. Etika politik harus ditanamkan sejak dini, bukan hanya di bangku kuliah, tetapi dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah. Menanamkan nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab, dan penghargaan terhadap perbedaan adalah investasi jangka panjang untuk melahirkan generasi pemimpin masa depan yang berintegritas.

Terakhir, dan yang terpenting, adalah komitmen dari para politisi sendiri. Kekuasaan adalah amanah, bukan hak. Seorang pemimpin sejati bukanlah yang paling lihai bermain taktik, melainkan yang paling berani mengambil keputusan sulit demi kepentingan umum, sekalipun itu tidak populer. Mereka adalah yang mampu mendahulukan nurani di atas kalkulasi suara.

Bangsa kita telah terlalu lelah menyaksikan para elit bermain api di tengah tumpukan masalah rakyat. Sudah saatnya kita bersama-sama melakukan renovasi moral dalam kehidupan politik kita. Masa depan demokrasi kita tidak ditentukan oleh gemerlap janji atau retorika kosong, tetapi oleh kokohnya pilar etika yang menjadi penopangnya.

Kembalikan politik pada khittahnya: sebagai seni mulia untuk melayani, bukan untuk menguasai.Editor. Amir