Oleh. Amir Mahmud
Dalam setiap bab sejarah bangsa, selalu ada masa ketika kekuasaan kehilangan jiwanya. Saat itu politik tidak lagi menjadi ruang pengabdian, melainkan arena transaksi. Kepentingan rakyat disulap menjadi jargon, sementara uang dan kekuasaan dijadikan ukuran keberhasilan. Dalam keadaan demikian, kesucian perwakilan rakyat lenyap di bawah kaki mereka yang menjadikan jabatan sebagai komoditas.
Ketika politik dikuasai oleh kepentingan sempit, rakyat hanya menjadi penonton dalam drama demokrasi. Mereka yang terpilih untuk membela suara rakyat justru memanipulasi suara itu demi keuntungan sendiri. Kepercayaan publik pun tergerus, dan institusi negara kehilangan wibawanya. Di tengah situasi ini, yang dibutuhkan bukan lagi seruan moral semata, melainkan figur yang berani menjadikan kejujuran sebagai kebijakan.
Munculnya sosok-sosok teknokrat bersih menandai kebangkitan baru dalam birokrasi kita. Mereka bukan bagian dari partai, bukan pula pemain politik yang lihai berjanji. Mereka bekerja dalam senyap, dengan ukuran yang jelas: akuntabilitas dan integritas. Salah satu simbol kebangkitan itu tampak pada figur Menteri Keuangan RI, Dr. Purbaya, yang dengan ketegasan moral dan disiplin profesional berani menelusuri lembaga-lembaga yang selama ini menjadi sarang kebocoran keuangan negara — kementerian, BUMN, bea cukai, hingga pemerintah daerah.
Langkah-langkah tegas itu mengguncang sistem lama yang dibangun atas kompromi politik dan kelonggaran etika. Mereka yang selama ini berlindung di balik nama “kepentingan rakyat” kini mulai gelisah. Ketakutan itu bukan karena kehilangan jabatan, melainkan karena bayang-bayang kejujuran mulai menembus tirai kepalsuan. Inilah yang sesungguhnya membuat para politikus busuk gentar: bukan kekuasaan baru, tetapi moralitas yang menuntut pertanggungjawaban.
Bagi Amir Mahmud Center (AMC), fenomena ini menandai kembalinya kesadaran bahwa negara tidak dapat diselamatkan oleh politik tanpa etika. Demokrasi memerlukan teknokrasi — bukan dalam arti menghilangkan politik, tetapi menempatkan politik di bawah kendali moral dan kompetensi. Dalam tatanan seperti itu, kekuasaan tidak lagi menjadi hak istimewa, melainkan amanah yang harus dijaga dengan ilmu, kejujuran, dan keberanian.
Kejujuran bukan konsep spiritual yang utopis. Ia adalah prasyarat rasional bagi berfungsinya negara modern. Negara tidak akan berjalan bila sistem keuangan disabotase, bila data dimanipulasi, atau bila aparatur takut mengambil keputusan karena lingkungan politik yang busuk. Di sinilah makna sejati teknokrasi: membebaskan kebijakan publik dari belenggu kepentingan pribadi dan partai.
Bangsa ini tidak kekurangan orang pandai, tetapi sering kekurangan orang jujur. Kita memiliki banyak politisi, namun sedikit negarawan. Karena itu, munculnya teknokrat berintegritas bukan hanya soal kinerja, melainkan peringatan moral bahwa negeri ini masih memiliki harapan. Mereka adalah bukti bahwa keahlian dan kejujuran dapat berjalan beriringan, bahwa rasionalitas ekonomi tidak harus mengorbankan nurani sosial.
Dalam pandangan AMC, Indonesia sedang memasuki babak penentuan. Kita sedang menguji apakah politik mampu tunduk pada akal sehat dan moral publik, atau tetap menjadi panggung bagi kepura-puraan. Keberanian Purbaya dan para teknokrat bersih lainnya adalah ujian bagi seluruh sistem: apakah negara ini siap menegakkan transparansi, atau akan terus menutupinya dengan retorika.
Editorial ini berpandangan tegas: politik tanpa moral akan hancur oleh kepentingan; teknokrasi tanpa nurani akan membeku dalam prosedur. Maka yang kita butuhkan hari ini bukan sekadar pejabat baru, tetapi tata nilai baru — di mana kejujuran menjadi dasar legitimasi, dan kerja nyata menjadi ukuran kepercayaan.
Jika ada harapan bagi bangsa ini, harapan itu terletak pada keberanian untuk menegakkan kebenaran meski berisiko kehilangan kekuasaan. Sebab dalam politik yang busuk, kejujuran selalu tampak berbahaya. Namun justru dari keberbahayaan itulah lahir kemurnian baru: bahwa kekuasaan sejati bukanlah kemampuan memerintah, melainkan kesanggupan untuk tidak mengkhianati rakyat.Editor. Amir

