Oleh. Amir Mahmud

Dalam sidang kabinet yang digelar di Istana Negara, Senin (20/10), publik mencatat satu momen menarik: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dan Ketua Dewan Ekonomi Nasional Luhut Binsar Pandjaitan terlihat tidak bertegur sapa. Di balik peristiwa yang tampak sederhana itu, sesungguhnya tersimpan narasi besar tentang gaya kepemimpinan, integritas, dan cara berpikir dalam mengelola kekuasaan dan kebijakan negara.
Purbaya tampil sebagai sosok tenang yang berbicara dengan data dan rasionalitas. Ia bukan tipe pejabat yang gemar mencari panggung, melainkan seorang ekonom yang menempatkan kejujuran dan ketepatan analisis di atas kepentingan politik. Ketika banyak pejabat sibuk mengelola citra, Purbaya justru membangun kepercayaan publik dengan transparansi dan kecerdasan berpikir yang visioner.
Keberaniannya menolak atau mengoreksi kebijakan yang tidak selaras dengan prinsip pengelolaan keuangan negara menunjukkan integritas yang langka. Dalam pandangannya, APBN bukan ruang eksperimen kekuasaan, melainkan amanah publik yang harus dijaga agar setiap rupiah berpihak pada kepentingan rakyat.
Sebaliknya, Luhut dikenal dengan gaya kerja cepat, penuh energi, dan keyakinan yang kuat. Ia terbiasa memimpin banyak sektor sekaligus dan bergerak dengan jaringan kekuasaan yang luas. Namun dalam konteks kebijakan publik, gaya semacam ini kadang menimbulkan kesan terlalu dominan, terutama ketika gagasan besar tidak disertai ruang dialog yang cukup.
Di tengah dua gaya yang kontras ini, publik menyaksikan kehebatan Purbaya: seorang pemimpin yang berani memberikan pelajaran lembut namun tegas tentang pentingnya berpikir jernih dan menjaga batas antara kewenangan dan kebijakan.
Ia mengajarkan bahwa menjadi pejabat negara bukan soal siapa yang paling kuat, tetapi siapa yang paling jujur dalam menjaga amanah.
Bangsa ini membutuhkan pemimpin dengan keberanian seperti Purbaya — yang berpikir melampaui kepentingan pribadi, berani menegakkan kebenaran dengan santun, dan menjadikan data serta akal sehat sebagai dasar pengambilan keputusan. Dalam ketenangannya, ia menunjukkan bahwa kecerdasan moral seringkali lebih kuat dari kekuasaan politik. Editor. Amir
