Prof. Dr. H. Imam Suprayogo
( Mantan Rektor UIN Malang – dan Ketua Pembina Amir Mahmud Center )
Nasehat Ayahnda!
Kiranya sudah waktunya kita berbicara tentang agama tidak semata-mata berhenti pada proses, tetapi lebih diarahkan pada hasilnya. Agama diturunkan ke muka bumi bukan untuk memperbanyak perdebatan, melainkan untuk menumbuhkan ketenteraman, kasih sayang, saling tolong-menolong, kedamaian, dan kemaslahatan bagi seluruh makhluk.
Selama ini, perbincangan keagamaan sering kali terjebak pada ranah proses. Muncullah diskusi tentang akidah, fikih, tarekat, dan sebagainya. Sesungguhnya hal itu tidak salah. Perbincangan tentang aspek-aspek tersebut memang diperlukan, sebab di sanalah letak pondasi pengetahuan dan keimanan. Namun, pembahasan itu menjadi kurang penting, bahkan terkadang kontra produktif, apabila justru melahirkan perselisihan dan permusuhan di antara sesama umat beragama.
Sudah sepatutnya kini kita memusatkan perhatian pada hasil dari beragama. Pertanyaannya: apakah agama yang kita anut telah benar-benar membuahkan kedamaian, perilaku terpuji, dan akhlak yang mulia? Itulah ukuran sejati keberhasilan dalam beragama.
Ajaran, kelompok, sekte, aliran, atau mazhab apa pun disebut baik jika mampu melahirkan kehidupan yang berkualitas — kehidupan yang damai, beradab, dan penuh kasih. Sebaliknya, jika ajaran atau kelompok tersebut hanya kuat dalam konsep, tetapi lemah dalam menghasilkan kebaikan nyata dalam kehidupan, maka sesungguhnya ia baru berhenti pada tataran teori, belum sampai pada hakikat.
Aliran, sekte, atau mazhab yang disebut hebat, tetapi para pengikutnya gemar berselisih, berpecah-belah, bahkan berperilaku koruptif, patut kita tanyakan kembali: bagaimana mungkin paham yang diperjuangkan itu disebut benar, jika tidak melahirkan kejujuran, kedamaian, dan akhlak yang luhur?
Agama adalah jalan menuju kebaikan, bukan alat untuk merasa paling benar. Ia hadir untuk menuntun manusia menjadi pribadi yang berakhlak, menebar kasih sayang, dan membawa rahmat bagi semesta alam. Editor Amir
