Amir Mahmud (AMC)
Dalam sejarah panjang pemikiran manusia, kekerasan selalu muncul sebagai bayangan gelap dari ketidakadilan. Namun Plato, filsuf Yunani yang hidup lebih dari dua ribu tahun lalu, telah jauh-jauh hari membaca akar persoalan itu: terorisme bukan sekadar kejahatan fisik atau politik, melainkan penyakit jiwa yang kehilangan keseimbangan.
Dalam The Republic, Plato menjelaskan bahwa manusia dan negara memiliki struktur yang serupa — terdiri atas tiga unsur: akal (logos), semangat (thymos), dan nafsu (epithymia). Keadilan lahir ketika akal memimpin, semangat menjadi penjaga kebenaran, dan nafsu tunduk pada kebijaksanaan. Ketika tatanan ini rusak — ketika akal dikalahkan oleh amarah dan hasrat kekuasaan — maka muncullah tirani.
Dan di situlah kita melihat wajah terorisme hari ini.
Terorisme: Wajah Baru Jiwa yang Rusak
Pelaku teror kerap mengklaim dirinya pembela kebenaran atau pejuang keadilan. Namun dalam pandangan Plato, mereka adalah jiwa-jiwa tiranik — manusia yang dikuasai oleh kemarahan dan ilusi kebenaran.
Ia hidup dalam “gua” ideologinya sendiri, menolak cahaya rasionalitas dan kebijaksanaan.
Plato menggambarkan orang semacam itu sebagai penghuni gua yang terikat rantai, hanya melihat bayangan dan menganggapnya realitas sejati. Demikianlah pelaku teror: hidup dalam bayangan kebencian, jauh dari kebenaran sejati.
Kehancuran Rasionalitas Negara
Plato menulis tentang perjalanan kehancuran negara ideal: aristokrasi → timokrasi → oligarki → demokrasi → tirani.
Tirani adalah bentuk terburuk, ketika kekuasaan dijalankan tanpa kebijaksanaan.
Fenomena ini relevan dalam konteks modern: ketika keadilan sosial hilang dan masyarakat kehilangan arah moral, maka ekstremisme menemukan ruangnya.
Dalam bahasa Plato, terorisme lahir dari kehancuran rasionalitas publik dan hilangnya kebajikan dalam masyarakat.
Negara yang gagal menanamkan keadilan dan pendidikan moral akan menumbuhkan ketidakpuasan yang mudah berubah menjadi kekerasan.
Plato dan Jalan Pencegahan: Pendidikan dan Keadilan
Bagi Plato, pendidikan (paideia) adalah sarana utama membentuk manusia berjiwa seimbang.
Pendidikan yang hanya mencerdaskan tanpa membijakkan justru berbahaya — karena melahirkan kecerdasan tanpa kendali moral.
Maka melawan terorisme harus dimulai dari pendidikan nilai dan penegakan keadilan sosial yang nyata.
Kekerasan ideologis tidak tumbuh di ruang yang adil dan berakal sehat. Ia tumbuh di ruang gelap ketidakadilan dan kebodohan. Karena itu, pembangunan sistem sosial yang rasional, adil, dan terbuka menjadi bagian dari upaya jangka panjang menutup ruang bagi ekstremisme.
Refleksi AMC: Kembali ke Jiwa yang Berimbang
Bagi AMC membaca Plato bukanlah sekadar kembali ke masa lalu, melainkan mengambil hikmah bagi masa depan peradaban.
Kita hidup di zaman di mana kekerasan dapat muncul dengan berbagai nama — agama, politik, bahkan kebudayaan. Namun pesan Plato tetap relevan: kebijaksanaan adalah benteng terakhir kemanusiaan.
Terorisme adalah gejala dari krisis jiwa manusia dan krisis keadilan negara.
Maka melawannya bukan sekadar dengan kekuatan militer, tetapi juga dengan kekuatan moral, pendidikan yang mencerahkan, dan tatanan sosial yang adil.
“Negara yang adil akan melahirkan manusia yang berjiwa seimbang; dan manusia yang berjiwa seimbang tidak akan memilih jalan kekerasan.” Editor. Amir
